EVENT PROMPT



Peringatan : Plot ini tidak ada hubungan dengan plot utama, dibuat untuk kepentingan event dari LOOCALISM.


⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀°°°°°

⠀Semilir angin berhembus lancar, langitpun nampak begitu cerah tanpa baluran awannya. Matahari dengan senyum riangnya menyapa kota tercinta. Namun, saat netra kembali menatap raga yang terbujur kaku itu. Perasaan tenang yang sejenak semesta ciptakan melebur tanpa sisa. Menciptakan gelagat sedu yang bersarang. Air dan api menyatu di tubuhku, amarah dan pilu bergabung menjadi satu. Mencetak pijakan-pijakan yang menuju kehancuran.

"Siapa yang melakukan ini, Ayah?" Aku yang tak kuasa menahan diri, meluapkan tangisan dalam dekapannya.

"Ayah sendiri pun tidak tahu, jika ditelusuri lebih dalam. Ibumu itu tidak mempunyai musuh."

"Pasti pelakunya orang yang iri dengannya!" 

"Kamu tidak boleh menuduh seperti itu, Labena. Mungkin, beginilah takdir ibumu. Pergi dengan cara tak layak, dia orang yang baik mana mungkin ada orang yang iri padanya."

"Tidak! Aku tidak bisa menerima ini, jika aku tidak bisa mencari cara agar bisa menghidupkan ibu lagi. Maka, aku akan mencari pelakunya sampai dapat!"

Aku menangis histeris, ayah berusaha keras untuk menenangkanku. Tapi bagaimana mungkin aku tenang? Ibuku sudah pergi untuk selamanya, ibu adalah hidupku.

"Jangan menangis lagi anakku, masih ada Ayah di sampingmu."

Aku masih menangis, diam-diam merasa kagum dengan ayah yang bisa menahan kesedihan yang melandanya. Ayah, ia memang orang yang hebat. Aku sangat beruntung memilikinya.

"Berhentilah, Ayah tahu solusinya."

Aku langsung menghentikan tangis dan mengusap sisa air mata di pipiku. Ku arahkan atensiku kepada ayah.

"Ayah serius? Bagaimana caranya?"

"Kita pergi ke bukit timur untuk mencari gerbang candrama, temukan cara agar kita bisa masuk dan mengetahui siapa yang membunuh ibumu. Karena, orang itu hidup di sana."


⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀°°°°°

⠀Usapan udara pagi berhasil membangunkanku, dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul aku mendudukkan diri. Mengernyit heran ketika mimpi semalam terlintas di ingatan, seorang kakek berbaju ungu yang terus mengatakan kata "Ungu, racun, aura, dusta." Aku juga melihat paman Cakalang berbaring dengan bunga warna ungu dengan warna kuning bagian dalam di pelukannya.

Menghiraukan itu, aku lebih memilih untuk bersiap diri dan menuju kamar ayah. Puing bata kegirangan untuk pondasi kebahagiaan yang kemarin sempat runtuh, kini mulai terpasang kembali. Namun, akhirnya runtuh kembali ketika melihat ayah yang terbaring lemah di tempat tidur.

"Ayah! Ayah kenapa?" Aku langsung berlari menghampirinya.

"Labena, maafkan Ayah. Ayah tidak bisa menemanimu."  

Aku menganggukkan kepala beberapa kali, khawatir dengan keadaan ayah yang sekarang. Aku berniat mendudukkan diri di samping ayah, mataku menangkap bunga warna ungu dengan kuning di bagian dalamnya, kelopaknya sudah tak lengkap. Sepertinya aku pernah melihatnya. Namun perhatianku beralih ketika menyentuh tangan ayah yang dingin, aku panik kala melihat tubuh ayah yang mulai membiru.

"Berangkatlah sekarang Nak, tak usah hiraukan aku."

"Tapi ...."

"Tidak mengapa, semoga kamu berhasil. Doa Ayah turut menyertaimu. Berangkatlah, Nak!"

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀°°°°°

⠀Aku berjalan sendirian dengan berbekal peta, menyusuri hutan belantara kepunyaan bukit timur kota. Merasa asing dengan suara yang penghuni hutan keluarkan, aku tidak takut hanya saja sedikit tak nyaman. Aku mendengar suara orang menghela nafas, saat kutolehkan kepalaku ke kanan, aku terkejut. Kakek itu, itu kakek yang muncul di mimpiku.

Mata sayunya memperhatikanku, seperti menerawang atau semacamnya. Dengan langkahnya yang pelan, kakek berbaju ungu dengan penutup kepala hitam itu berjalan ke arahku. Menatap heran, aku berusaha menjaga jarak aman darinya.

"Apa yang kamu cari?" cetusnya dengan suara yang sedikit tidak jelas, khas sekali. 

"Maaf, saya di sini sedang mencari letak gerbang candrama," jawabku, aku kaget ketika mendengar ia tertawa.

"Untuk apa kamu ke sana?"

"Saya ingin mencari tahu siapa pembunuh ibu saya." Kakek itu tertawa lagi, namun lebih rendah dari yang tadi.

"Tempat di balik gerbang itu berbahaya, tidak ada yang boleh ke sana. Tempat itu adalah sarang racun."

"Saya mohon Kakek, saya benar-benar ingin membalas dendam terhadap kematian ibu saya."

"Seharusnya kematian ibumu membuatmu lebih berhati-hati Nduk, cah ayu."

"Berhati-hati?"

"Bagaimana mungkin orang lain masuk jika pintu tertutup rapat. Berpikir terhadap keadaan juga penting agar hidup tetap aman." 

Benar, bagaimana mungkin orang lain bisa masuk mengingat kondisi rumah dengan penjagaan yang ketat. Di rumah ada nenek, ayah, ibu, paman, dan aku. Tidak mungkin salah satu dari mereka, mungkin kakek ini hanya asal tebak saja.

"Tujuh aura manusia, bisa dilihat oleh mata telanjang orang-orang pilihan."

"Maksud Kakek?"

"Autumn corcus, perpaduan yang cocok antara ungu dan kuning, kemisteriusan yang memancar ditutupi oleh diam yang tak kalah besar." Aku melihat kakek itu menyeringai. 

"Sungguh, saya tidak mengerti semua perkataan Kakek," ujarku berusaha menghilangkan rasa takut.

"Di tengah-tengah pohon jati, dikepung oleh puluhan bunga tujuh warna yang memancarkan aura manusia. Berjalanlah ke arah selatan."

"Disana letak gerbangnya? Terima kasih banyak." Kakek itu memegang tanganku ketika kakiku hampir melangkah. 

"Selalu ada kebaikan dibalik jiwa buas yang berkobar. Hujan sudah turun di bagian utara, langkahmu sudah terhapus. Lantas, apa kata yang pantas selain sia-sia? Kakek sarankan, kamu kembali pulang dan tidur nyenyak dibalik lindungan dinding jati."

"Perjalananku hampir selesai, tidak ada usaha yang sia-sia. Kalau begitu, saya pemisi dulu, terima kasih sekali lagi, Kek." Senyumku terbit, aku akhirnya akan mendapat jawaban dan bisa balas dendam.

"Racun tidak akan meracuni dirinya sendiri," ucap kakek itu ketika jarak kami sudah mulai jauh.

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀°°°°°

⠀Terus berjalan ke arah selatan, hingga menemukan dua pohon jati yang saling berjejeran. Dan gerbang itu, aku sudah menemukannya. Tunggu, itu hanya sebuah tanaman rambat yang menjuntai ke bawah. Akupun berjalan mendekati, ternyata di balik tanaman itu ada gerbang dari kayu yang tak kuketahui. Di tengah-tengah ada pahatan bunga yang tak asing.

Aku melihat ke sekeliling, dan benar saja terdapat bunga tujuh warna yang tumbuh disini, warna merah, hijau, ungu, kuning, biru, nila, dan jingga. Ada yang aneh, warna bunga itu seperti memancar menciptakan cahaya hologram yang beragam warna. Aku bingung, tidak mengerti maksudnya. 

"Perpaduan yang cocok antara ungu dan kuning, kemisteriusan yang memancar ditutupi oleh diam yang tak kalah besar."

Tiba-tiba ucapan kakek tadi muncul, aku mengambil bunga warna ungu dan kuning. Bunga yang memancarkan aura manusia, ungu aura misterius dan kuning adalah aura pendiam. Apa maksud dari semua ini, aku membawa kedua bunga itu ke gerbang. Ada enam kelopak, aku menaruh bunga yang kupetik di bagian yang pas, ini seperti potongan puzzle

"Autumn corcus," pekikku setelah berhasil mengingat namanya, tak kusangka gerbang itu terbuka. Sebuah lorong panjang nan gelap berhasil tertangkap oleh mata. Ini semacam goa, samar-samar kulihat tanaman bunga meramaikan dindingnya. Akupun masuk ke dalam, aroma wangi dari bunga-bunga itu menyambutku. Langkahku semakin jauh, udara disini pun kian menipis. Perkataan kakek itu salah, nyatanya aku sudah berjalan sejauh ini, namun tidak terjadi apa-apa. Juga, hanya ada bunga-bunga cantik disini tidak ada racun seperti yang ia bilang.

Di tengah kegelapan, dibantu sinar mentari yang masuk dari celah-celah kecil, nampak seseorang duduk di sebuah batu sambil bersandar di dinding. Aku terkejut ketika melihat paman Cakalang berada disana dengan bunga corcus di tangannya, amarahku memuncak. Tidak kusangka orang yang selama ini aku hormati dan sayangi tega membunuh kakak kandungnya sendiri. Aku bergerak maju, mengepalkan tangan berniat mengeluarkan pisau yang kusimpan dibalik baju. Namun, kondisi tubuh paman sama seperti ibu dan juga ayah. Terbujur kaku dan berwarna biru. Lalu, siapa pelakunya?
Aku ingat kata kakek berbaju ungu tadi, racun tidak akan meracuni dirinya sendiri. Dia pasti sedang pura-pura, aku mendekat hendak melayangkan pisau ditanganku ke arahnya. Aku bergeming saat sebuah tangan mendarat di pundakku.

"Selamat putriku, kamu telah berhasil. Perjuanganmu untuk membalas dendam sepertinya cukup sampai disini. Ada kabar gembira untukmu, kamu akan segera bertemu dengan ibumu."


Cocokologi pengarang : warna jingga sengaja tidak masuk dalam pendeskripsian karena warna ungu yang memancarkan aura kemisteriusan lebih dominan. Orang yang melihat akan menjadikannya objek ketiga untuk dipandang. Warna kuning lebih menarik perhatian kiranya, kuning memancarkan aura pendiam. Sedangkan jingga adalah energik, bukankah hal yang dirasakan dan dilakukan manusia itu membutuhkan energi? Ciri khas yang dimiliki semua makhluk hidup bukanlah sebuah ciri khas lagi.


⠀⠀⠀⠀⠀⠀━━━━━━━━━━━━━━━


#SEGARA!ENDAH : 1ST PROMPT EVENT



Komentar